Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kedai Sufi Ibn Turost : Antara Puasa dan Keimanan

Puasa sebenarnya berat bagi yang tidak terbiasa meskipun hanya menahan rasa lapar dah haus. Begitu juga bagi penulis, puasa adalah ibadah yang cukup berat. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ibadah seberat itu, tapi orang Islam banyak yang mentaatinya? Jawaban yang biasa kita dengara adalah hanya karena keimanan mereka. Kita tidak meremehkan efek keimanan. Banyak perilaku ibadah yang menurut akal rasional (pragmatis), sebenarnya sulit dilakukan akan tetapi dalam realita empiris (alam kenyataan) banyak yang melakukannya. Seperti ibadah haji, sholat, dan lain-lain. Persoalannya bukanlah kadar keimanan kita kadang tambah kadang turun derajat kualitasnya. Biasanya para kyai untuk meningkatkan keimanan para santrinya, kyai akan memberikan beberapa alasan-alasannya tentang mengapa kita harus melakukan sesuatu (baca : ibadah).

Puasa tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Puasa juga membawa pada pendewasaan spiritual atau kemerdekaan manusia itu sendiri. Puasa mengajarkan pada kita untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya seperti managemen waktu. Selain itu, juga untuk tidak bersifat pragmatisme / gegemongso. Contoh, meskipun di siang hari kita bertemu dengan minuman dan makanan yang lezat, biarpun makanan itu secara syar'i halal akan tetapi demi alasan puasa, kita tidak menyantapnya kalau belum waktu berbuka. Manfaat managemen waktu diantaranya adalah akan memunculkan sifat sabar (survive) yang mana sifat sabar adalah sangat penting dalam kehidupan manusia.

Dikisahkan pada zaman Nabi Isa, ada seorang pemuda yang tidak sabaran atas kehendak Tuhan. Yang pada akhirnya ia menyesali ketidaksabarannya. Dalam kisahnya, diceritakan ada seorang pemuda mempunyai kekasih yang sangat cantik jelita, setelah melakukan perjalanan memadu kasih (perkikahan), selang beberapa hari kemudian sang istri sakit yang pada akhirnya ajal menjemputnya. Tentu saja ! Pemuda tersebut, dengan hati pilu meratapi kepergian sang istri untuk selama-lamanya. Tidak cukup dengan meratapinya saja, bahkan ia pun tidur di atas pusara sang istri. Sebagai bukti ciinta yang sangat dalam. Dalam duka nestapa, kebelutan Nabi Isa lewat. Beliau pun bertanya pada pemuda tadi. Ada apa gerangan? Yang membuat kamu berduka seperti ini? Pemuda ini menjawab. Kondisi seperti ini disebabkan oleh matinya kekasihku. Dan tolong Nabi Allah, hidupkan istriku supaya aku bisa hidup damai penuh cinta seperti sebelumnya. Pada awalnya Nabi Isa menolak, tapi atas desakan dan rengekan pemuda tadi, akhirnya Nabi Isa tak kuasa menolaknya. Beliaupun berdoa pada Tuhan.

Setelah istrinya dihidupka kembali, pemuda tadi mengajak pasangannya untuk pulang dengan niatan memadu kasih. Namu naas, di tengah perjalaan pulang, sepasang sejoli tersebut berpapasan dengan seorang pangeran yang sangat kaya dan ganteng. Sampai hati, sang istri terlambat dan tertarik pada sang pangeran. Apa yang terjadi, ternyata sang istri memilih lari dengan pangeran untuk meninggalkan sang suami. Cerita di atas menggambarkan kita harus ridho dengan adanya keputusan Tuhan. Pilihan Tuhan adalah yag terbaik meskipun hati kita belum bisa menerimanya. Puasa juga merupakan latihan untuk tidak bersifat serakah dalam segala hal, meskipun perbuatan tersebut secara syar'i boleh.

(Diterbitkan dalam buletin Ad-Da'wah edisi 24/13 Ramadhan 1427 H / 6 Oktober 2006 M)

Posting Komentar untuk "Kedai Sufi Ibn Turost : Antara Puasa dan Keimanan "