Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH DAN FILOSOFI WAYANG

Bagi masyarakat Indonesia, mengetahui sejarah dan filosofi wayang mungkin hal yang sudah sangat jarang diinginkan. Mengapa saya berkata demikian? Karena pada dasarnya, kebudayaan seperti wayang lambat laun mulai dilupakan. Tidak bermaksud untuk mengenelarisir, namun perkembangan teknologi dan cepatnya informasi pada masa sekarang perlahan seolah mengikis budaya asli Indonesia. 

SEJARAH DAN FILOSOFI WAYANG

Untuk itulah, pada artikel ini, saya akan mencoba sedikit menuliskan sejarah dan filosofi wayang di Indonesia. 

Sejarah Wayang

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang berkembang pesat khususnya di Jawa dan Bali. Asal usul wayang memang tidak tercatat secara akurat, namun masyarakat Indonesia akan selalu ingat serta merasakan kehadiran wayang dalam kehidupan masyarakat. Mengutip dari buku Buku Pintar Wayang karya Ali Rif'an dan buku Wayang karya Nanda M.H, wayang dikenal sejak zaman prasejarah, yakni sekitar 1500 SM. 

Kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan masyarakat Jawa. Pada zaman dahulu, masyarakat Indonesia memeluk dua kepercayaan besar yakni Animisme dan Dinamisme. Dalam kepercayaan ini, diyakini bahwa roh orang yang meninggal masih tetap hidup dan semua benda memiliki nyawa serta kekuatan. Oleh karena itulah, mereka tetap dipuja dan dimintai pertolongan. Jadi untuk memuja roh nenek moyang, penganut kepercayaan klasik tersebut melakukan ritual tertentu yang kemudian diwujudkan dalam bentuk patung dan gambar. 

Nah, ruh nenek moyang yang dipuja tersebut dikenal dengan panggilan hyang atau dahyang. Sementara, orang dapat berhubungan dengan para hyang ini harus melalui medium yang disebut dengan syaman untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Jadi, proses ritual pemujaan inilah yang kemudian menjadi asal muasal munculnya kesenian wayang. Yakni hyang menjadi wayang dan syaman sebagai dalangnya.

Dalam perkembangannya, wayang telah mengalami beberapa transformasi bentuk yang tentu beradaptasi dengan zaman. Wayang jaman dahulu tentu berbeda dengan bentuk wayang yang sekarang kita lihat. 

Sedangkan untuk bahasa yang digunakan pada awalnya adalah bahasa Jawa kuno yang kemudian bercampur dengan Jawa baru dan Bahasa Indonesia. Akulturasi bahasa inilah yang disebut dengan basa rinengga yakni bahasa yang telah disusun indah sesuai dengan kegunaannya. 

Di Indonesia sendiri, tokoh yang dipercaya memiliki peranan paling penting dalam perkembangan wayang adalah Sunan Kalijaga dan Raden Patah. Terdapat versi wayang yakni wayang orang yang dimainkan oleh orang yang memakai kostum dan wayang kulit atau wayang golek yakni berupa boneka yang dimainkan oleh dalang. Cerita pada pagelaran wayang biasanya berasal dari kisah Mahabharata dan Ramayana. Pertunjukan wayang di setiap wilayah memiliki teknik dan gaya sendiri. Misalnya wayang kulit di Jawa Timur, wayang wong atau wayang orang di Jawa Tengah, dan wayang golek di Jawa Barat.

Selama berabad-abad, budaya wayang mengalami perkembangan menjadi beragam jenis. Perkembangan ini dipengaruhi oleh keadaan budaya daerah setempat. Misalnya wayang kulit purwa, yang berkembang pula pada ragam kedaerahan menjadi wayang kulit purwa khas daerah, seperti wayang Cirebon, wayang Bali, wayang Betawi, wayang Banjar, dan lain sebagainya. 

Filosofi Wayang

Pagelaran wayang tentu memiliki makna filosofi yang sangat tinggi. Dengan kata lain, wayang merupakan karya seni yang penuh dengan cita, rasa, dan makna. Ada makna religius di dalamnya. Kaya akan etika dan pesan moral ketika dimainkan. 

Oleh karena itu, filsafat pewayangan membuat masyarakat sebagai penontonnya merenungkan hakikat, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti, kedudukan manusia dalam alam semesta, serta sangkan paraning dumadi yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh dalang pada akhir pagelaran wayang. 

Apabila dicermati, keseluruhan pagelaran wayang, dari pembukaan sampai berakhirnya, memiliki kandungan filosofis yang luar biasa. Tiap adegan juga diiringi dengan gending tersendiri dan makin lama makin meningkat laras serta iramanya sehingga mencapai klimaks setelah semua masalah di dalam lakon terjawab dan berhasil diselesaikan. Semua itu menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia di dunia ini dengan segala aspek dan dinamika di dalamnya sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan ataupun makhluk sosial. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari cermin kehidupan yang bernilai tinggi. 

Demikian sedikit ulasan yang dapat saya berikan terkait dengan sejarah dan filosofi wayang. Pada kesempatan berikutnya, akan coba saya jabarkan lebih lanjut mengenai hal-hal terkait wayang serta tokoh-tokoh dalam pewayangan. Semoga pembahasan kali ini bermanfaat bagi Anda. 

Posting Komentar untuk "SEJARAH DAN FILOSOFI WAYANG"